Selasa, 16 November 2010

Lumpur Tidak Tertampung, 3 Desa Akan Ditenggelamkan

Lumpur Lapindo telah menenggelamkan 710 ha

     Sejak semburan pertama 5 tahun lalu, hingga hari ini, Lumpur Sidoarjo Jawa Timur tampaknya tak ada tanda-tanda akan berakhir. Bahkan titik semburan setiap harinya terus bertambah di beberapa desa di Sidoarjo. Ini makin menambah derita panjang bagi warga yang hidup di sekitar semburan. Awal tahun ini, Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo atau BPLS akan menenggelamkan lagi tiga desa sebagai kolam penampungan Lumpur.

Dari data terakhir pantauan BPLS, setiap hari lumpur di pusat semburan utama masih mengeluarkan sekitar 10 hingga 15 ribu meter kubik lumpur perhari.
Jumlah yang sudah jauh berkurang dibanding awal semburan lumpur, yang volumenya mencapai 100 ribu meter kubik perhari. Meski begitu tidak ada yang berani memastikan, apakah semburan ini akan terus mengecil atau bahkan berhenti sama sekali.
3 desa di Kec. Jabon ini, awal tahun ditenggelamkan

Sementara, total area yang dijadikan kolam penampungan lumpur sudah mencapai luas 710 hektar yang mencakup 11 desa di tiga Kecamatan, yakni Tanggulangin, Porong, dan Jabon.

Sekarang kolam penampungan mulai penuh dan butuh 3 desa lagi untuk ditenggelamkan. Dan tiga desa yang akan dijadikan kolam penampungan lumpur adalah desa Besuki, Kedungcangkring, dan Pajarakan. Keputusan itu diambil, disebabkan lumpur di sekitar pusat semburan, mulai overtopping atau sudah penuh. ”Kolam penampungan baru itu, diharapkan akan memudahkan pengaliran lumpur ke kali Porong, sebelum diteruskan ke laut, ”ujar Ahmad Khusairi, staf Humas BPLS hari Senin 15/11/2010.
beberapa rumah warga sudah dikosongkan
Tiga desa di Kecamatan Jabon, itu merupakan area peta terdampak lumpur lapindo sesuai ketetapan peraturan Presiden nomor 48 tahun 2008. Penenggelaman juga menyusul proses pembayaran ganti rugi yang sudah berjalan. Menurut Ahmad Khusairi, proses ganti rugi sudah dilakukan sejak tahun 2008, dengan mekanisme cicilan.  Angsuran pertama sebesar 20 persen pada tahun 2008, kedua sebesar 30 persen pada 2009, dan pada november 2010 ini, diberikan angsuran ketiga sebesar 20 persen.



Pipa saluran lumpur ke sungai porong


     Pembayaran ganti rugi itu menggunakan dana APBN, lewat penanganan BPLS.
Meski demikian, sebagian warga nekat bertahan dan belum meninggalkan desa mereka menuggu selesainya pembayaran ganti rugi. Keberatan warga menunggu sampai cicilan lunas, memang bisa dimaklumi. Mengingat pengalaman-pengalaman sebelumnya, dimana ganti rugi selalu berjalan molor, sehingga warga yang sudah kehilangan tanah dan sejarah hidupnya itu, harus menanggung beban derita lebih lama lagi. ”Pokoknya kami akan pindah, setelah pembayaran ganti rugi sudah dibayarkan tunai,”tegas Ridwan warga desa Besuki.

Pengerjakan dinding beton kali Porong
Apalagi prose angsuran ketiga ini belum dalam bentuk uang cash, masih sebatas penandatanganan perjanjian ikatan jual beli (PIJB) belum penerimaan uang melalui transferan di bank. ”Kami tidak mau dibohongi seperti korban lumpur yang lalu-lalu—pembayaran ganti ruginya diulur-ulur,” kata Solihin. 

Mestinya pihak berwenang memahami kondisi warga ini. Bayangkan saja mereka rela berkorban, meninggalkan desa dengan segenap kenangan dan masa lalunya. Namun mereka disia-siakan dengan pembayaran ganti rugi yang tidak tepat waktu. Jika bukan karena terpaksa, tidak ada seorangpun di bumi ini yang rela dilenyapkan dari sejarah masa lalunya. Dilenyakpan dari sejarah sebuah generasi yang pernah hidup dan berkembang di desa itu. Desa tempat ia dilahirkan, tempat kakek bunyutnya dimakamkan dan macam-macam kenangan indah. Semoga, setelah ganti rugi ada di tangan, nasib para korban lumpur lapindo jauh lebih baik lagi amin.



Tidak ada komentar: