Selasa, 24 Agustus 2010

LAPK: Waspadai “Diskon Bohong” Tarik Minat Beli

Medan(ANTARA) – Masyarakat diimbau mewaspadai pembohongan publik dalam perdagangan dengan menggunakan pola diskon dan penyebutan nilai sedikit lebih kecil untuk menarik minat beli. Umumnya, kata Direktur Lembaga Advokasi dan Perlindungan Konsumen (LAPK) Farid Wajdi di Medan, Selasa, pola seperti itu selalu berhasil minat masyarakat untuk membeli.
Biasanya, kata Farid, pengusaha pusat perbelanjaan selalu menerapkan dua pola itu pada saat tertentu seperti akhir tahun dan menjelang hari besar nasional.
Untuk momen akhir tahun, biasanya pedagang dan pengelola pusat perbelanjaan menaikkan harga sehingga menarik ketika diberi diskon.
Ketika akhir tahun tiba, harga barang-barang itu didiskon dengan alasan “cuci gudang” agar memancing masyarakat untuk cepat membelinya karena takut kehabisan.
Padahal, harga yang ditawarkan itu tidak mengalami perubahan sama sekali karena telah dinaikkan beberapa waktu sebelum datangnya akhir tahun.
Memang, kata dia, pola diskon itu merupakan kebijakan wajar dalam perdagangan guna menarik minta masyarakat untuk membeli.
Namun tidak jarang sebagian pelaku usaha menggunakan pola itu untuk membohongi masyarakat karena harga yang didiskon tersebut telah dinaikkan terlebih dulu.
Karena itu, masyarakat harus bijaksana dalam mencermati harga yang ditawarkan pedagang menjelang hari besar termasuk Lebaran.
Jangan mudah terpancing dengan diskon yang ditawarkan, katanya.
Kemudian, kata Farid, perlu diwaspadai juga pola penyebutan harga sedikit lebih kecil agar masyarakat merasa nilainya tidak terlalu besar dan tidak menguras kantong.
Ia mencontohkan penetapan harga barang Rp1.000 menjadi Rp999 sehingga masyarakat merasa tidak mengeluarkan uang sebesar Rp1.000.
Padahal, pengecilan nilai itu tidak mempengaruhi sama sekali, apalagi pedagang hampir dipastikan tidak akan mengembalikan uang sebesar Rp1 atau memberikan alasan tidak memiliki uang receh.
Selain itu, perlu juga diwaspadai pola “pemaksaan” untuk membeli barang yang dikemas dalam jumlah tertentu meski sebelumnya ada penjualan secara eceran.
Ia mencontohkan sebuah produk yang dijual secara eceran dengan harga Rp2.000 per buah tetapi menjelang hari besar dikemas menjadi Rp20 ribu dengan isi 10 buah.
Pola itu biasanya digunakan agar perputaran stok menjadi lebih cepat, katanya.
Ironisnya, kata Farid, pola diskon dan pengurangan itu yang dimaksudkan untuk memancing minat beli masyarakat sering digunakan untuk menjual produk lain.
Ketika masyarakat sudah datang, tidak jarang ada pedagang yang menyebutkan barang yang didiskon sudah habis sehingga menawarkan produk lain dengan harga lebih tinggi.
Padahal tidak sedikit penetapan harga lebih mahal itu bukan dari aspek kualitas tetapi disebabkan produksi yang tidak efisien serta biaya iklan dan promosi yang tinggi.
Jika dilihat dari UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, masyarakat dapat mengadukan jika mengalami penipuan dalam perdagangan melalui berbagai pola tersebut.
Dalam UU itu disebutkan, pedagang yang melakukan praktik penipuan dan pembohongan melalui iklan yang tidak benar dapat dipidana penjara paling lama dua tahun atau pidana denda sebesar Rp5 miliar.
Hukuman itu perlu diberlakukan untuk memberikan rasa jera bagi pelakunya dan melindungi konsumen, kata Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) tersebut. ***3***
(T.I023/B/R014/R014)
Bookmark and Share

Tidak ada komentar: